Akal manusia mampu membuktikan
keberadaan sesuatu hal berada di luar jangkauannya, jika ada sesuatu yang dapat
dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan seorang
Baduy ( orang awam ) tatkala ditanya kepada nya “ Dengan apa engkau mengenal
Rabb-mu ?” jawabnya, “ Tahi unta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak
kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan.” Oleh karena itu, ayat-ayat
al-Quran adalah bukti eksistensi keberadaan Allah Sang Pencipta dengan cara
mengajak manusia memperhatikan makhluk-makhluknya. Sebab, jika akal diajak untuk
mencari Zat-Nya, tentu tidak mampu menjangkaunya,seperti firmannya :
Sesunggsuhnya pada langit dan bumi benar-benar
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Pada
penciptaan kalian pada binatang-binatang melata yang bertebaran ( di muka bumi
) terdapat tanda-tanda ( kekuasaan Allah ) bagi kaum yang yakin. (TQS. Al-Jatsiyat [45]: 3-4)
Karena keterbatasan akal dalam perpikir, Islam melarang
manusia untuk berpikir di luar kemampuan tentang Zat Allah, karena Zat Allah
berada di luar kemampuan akal untuk menjangkaunya. Selain itu juga karena
manusia mempunyai kecenderungan ( jika ia hanya menduga-duga tanpa memiliki
acuan kepastian ) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hail ini
Rasulullah saw. Pernah bersabda : Berpikirlah kalian tentang makhluk Allah,
tetapi jangan kalian berpikir tentang Zat Allah. Sebab kalian tidak akan
sanggup mengira-ngira hakikatnya yang sebenarnya ( HR Abu Nu`aim dalam Al-Hadayah; sifatnya marfu ; sanadnya
dha`if, tetapi isinya sahib).
Akal
manusia yyang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang Zal Allah yang
sebenarnya; bagiamana Allah melihat,mendengar,berbicara,bersemayam di atas
`Arsy nya, dan seterusnya. Sebab, Zat Allah bukanlah materi yang bisa diukur
atau dianalisa, tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun, semisal manusia,
makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Kita
hanya percaya dengan sifat-sifat Allah yang dikabarkan nya melalui wahyu. Jika
kita menghadapi suatu ayat / hadist yang menceritakan tentang menyerupakan
Allah dengan makhluk, maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-ayat /
hadist tersebut dan menakwilkannya sesuai dengan akal kita. Ia lebih baik kita
serahkan kepada Allah, karena ia memang berada di luar kemampuan akal. Itulah
yang dilakukan oleh para sahabat, tabi`in dan ulama salaf. Imam Ibn al-Qayyim
berkata : Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka
itu adalah umat yang dijamin sempurna imannya. Namun, alhamdullilah, mereka
tidak pernah terlibat bertentangan paham satu sama lainnya dalam menghadapi
asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat nya. Meraka menetapkan
apa yang diutarakan al-Quran dengan suara bulat. Mereka tidak menakwilkannya,
juga tidak memalingkan pengertiannya.
Ketika
kepada Imam Malik ditanya tentang makna “persemanyamannya” beliau lama
tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat
kepala lalu bertanya “persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui,
Kayfiyah (cara) nya bukanlah hal yang dapat dipahami. Mengimaninya wajib,
tetapi menanyakannya adalah bid`ah / salah”
0 komentar
Posting Komentar