Minggu, 06 Agustus 2017

Peranan Akal dalam Masalah Keimanan

https://materidasarislammuslim.blogspot.co.id/

Akal manusia mampu membuktikan keberadaan sesuatu hal berada di luar jangkauannya, jika ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan seorang Baduy ( orang awam ) tatkala ditanya kepada nya “ Dengan apa engkau mengenal Rabb-mu ?” jawabnya, “ Tahi unta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan.” Oleh karena itu, ayat-ayat al-Quran adalah bukti eksistensi keberadaan Allah Sang Pencipta dengan cara mengajak manusia memperhatikan makhluk-makhluknya. Sebab, jika akal diajak untuk mencari Zat-Nya, tentu tidak mampu menjangkaunya,seperti firmannya :

Sesunggsuhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Pada penciptaan kalian pada binatang-binatang melata yang bertebaran ( di muka bumi ) terdapat tanda-tanda ( kekuasaan Allah ) bagi kaum yang yakin. (TQS. Al-Jatsiyat [45]: 3-4)

            Karena keterbatasan akal dalam perpikir, Islam melarang manusia untuk berpikir di luar kemampuan tentang Zat Allah, karena Zat Allah berada di luar kemampuan akal untuk menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan ( jika ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian ) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hail ini Rasulullah saw. Pernah bersabda : Berpikirlah kalian tentang makhluk Allah, tetapi jangan kalian berpikir tentang Zat Allah. Sebab kalian tidak akan sanggup mengira-ngira hakikatnya yang sebenarnya ( HR Abu Nu`aim dalam Al-Hadayah; sifatnya marfu ; sanadnya dha`if,  tetapi isinya sahib).

            Akal manusia yyang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang Zal Allah yang sebenarnya; bagiamana Allah melihat,mendengar,berbicara,bersemayam di atas `Arsy nya, dan seterusnya. Sebab, Zat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisa, tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun, semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.

            Kita hanya percaya dengan sifat-sifat Allah yang dikabarkan nya melalui wahyu. Jika kita menghadapi suatu ayat / hadist yang menceritakan tentang menyerupakan Allah dengan makhluk, maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-ayat / hadist tersebut dan menakwilkannya sesuai dengan akal kita. Ia lebih baik kita serahkan kepada Allah, karena ia memang berada di luar kemampuan akal. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat, tabi`in dan ulama salaf. Imam Ibn al-Qayyim berkata : Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah umat yang dijamin sempurna imannya. Namun, alhamdullilah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan paham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat nya. Meraka menetapkan apa yang diutarakan al-Quran dengan suara bulat. Mereka tidak menakwilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya.

            Ketika kepada Imam Malik ditanya tentang makna “persemanyamannya” beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu bertanya “persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui, Kayfiyah (cara) nya bukanlah hal yang dapat dipahami. Mengimaninya wajib, tetapi menanyakannya adalah bid`ah / salah” 

0 komentar

Posting Komentar