Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,bahwa akidah haruslah al-tashdiq
al-jazim yang artinya pembenarannya pasti. Pembenaran dengan pasti itu berarti
tidak boleh ada keraguan sedikitpun dalam mengimaninya (harus utuh / seratus
persen) dan tidak boleh ada kekurangan sedikitpun (misal: 99.99 %). Hal ini di
haruskan karena dalam masalah akidah / keimanan berati menyangkut iman attau
kafir. Jika ada sedikit saja keraguan dalam-dalam hal akidah / keimanan (misal:
keberadaan Allah), maka sesungguhnya keimanannya sudah dapat dikatakan rusak
atau bahkan kafir. Untuk itulah dalam masalah akidah / keimanan ini pun dalil
naqli yang digunakan juga haruslah kuat dan qath`i (pasti) serta tidak memberi
peluang sedikitpun untuk ada keraguan di dalamnya.
Al-Quran adalah sebuah
kitab yang sudah dapat dipastikan membawa dalil-dalil naqli yang kuat dan
qath`i. Selain itu, al-Quran juga disampaikan secara mutawatir. Hal ini
menjadikan kebenaran al-Quran adalah qath`i / jazim serta sedikitpun tidak ada
keraguan untuk mengimaninya. Dengan demikian, penggunaan al-Quran uuntuk dalil
naqli dalam masalah akidah tidak dapat diragukan lagi.
Berdeda dengan al-Quran,
al-Hadist ada kalanya disampaikan secara mutawatir,adakalanya secara ahad.
Hadist mutawatir artinya bahwa Hadist tersebut disampaikan oleh para
sahabat,tabi`in dan tabit tabi`in dalam jumlah tertentu dalam setiap thabaqat
nya(generasi). Setiap thabaqat itu pun periwayat yang membawanya haruslah
mempunyai syarat-syarat yang akan memjadikan hadist mutawatir ini bersifat
qath`i, tidak zhann, sehingga kebenarannya seratus persen dan tidak dapat
diragukan lagi. Adapun bebarapa syarat dari hadist mutawatir itu antara lain
sebagai berikut :
1.
Hadisk yang disampaikan harus diterima langsung oleh
perawi dengan pendengarnya dan penglihatan langsung pada periwayat sebelumnya.
2.
Jumlah perawi tiap thabaqt nya (sahabat, tabi`in dan tabi`at
–tabi`in) mencapai jumlah tertentu dan tidak memungkinkan mereka bersepakat
bohong. Jumlah ini harus imbang tiap thabaqat nya.
3.
Untuk memastikan bahwa perawinya tidak mungkin berbohong
baik sengaja maupun tidak, maka haruslah mempunyai sifat adil, sempurna ingatan
(hapalan kuat) dan bebarapa syarat yang lain.
Akan halnya hadist
ahad, kekuatannya tidak bisa dipastikan seratus persen (qath`i) serta
Masih mengandung zhann, baik sedikit maupun banyak. Jumlah perawinya pun
lebih kecil dari hadist mutawatir. Hal ini yang menjadikan hadist ahad bersifat
mengandung unsur keragu-raguan(zahann). Seperti telah diketahui sebelumnya
bahwa dalam masalah akidah tidak boleh ada keraguan sedikit pun di dalamnya.
Oleh sebab itu hadist ahad tidak dapat digunakan sebagai dalil naqli khusus
untuk masalah akidah, namun tetap dapat digunakan untuk masalah selain akidah
tergantung kekuatan hadist ahat tersebut.
0 komentar
Posting Komentar