Minggu, 06 Agustus 2017

Dalil Naqli dalam Perkara Akidah Harus Mutawatir

https://materidasarislammuslim.blogspot.co.id/
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,bahwa akidah haruslah al-tashdiq al-jazim yang artinya pembenarannya pasti. Pembenaran dengan pasti itu berarti tidak boleh ada keraguan sedikitpun dalam mengimaninya (harus utuh / seratus persen) dan tidak boleh ada kekurangan sedikitpun (misal: 99.99 %). Hal ini di haruskan karena dalam masalah akidah / keimanan berati menyangkut iman attau kafir. Jika ada sedikit saja keraguan dalam-dalam hal akidah / keimanan (misal: keberadaan Allah), maka sesungguhnya keimanannya sudah dapat dikatakan rusak atau bahkan kafir. Untuk itulah dalam masalah akidah / keimanan ini pun dalil naqli yang digunakan juga haruslah kuat dan qath`i (pasti) serta tidak memberi peluang sedikitpun untuk ada keraguan di dalamnya.

            Al-Quran adalah sebuah kitab yang sudah dapat dipastikan membawa dalil-dalil naqli yang kuat dan qath`i. Selain itu, al-Quran juga disampaikan secara mutawatir. Hal ini menjadikan kebenaran al-Quran adalah qath`i / jazim serta sedikitpun tidak ada keraguan untuk mengimaninya. Dengan demikian, penggunaan al-Quran uuntuk dalil naqli dalam masalah akidah tidak dapat diragukan lagi.

            Berdeda dengan al-Quran, al-Hadist ada kalanya disampaikan secara mutawatir,adakalanya secara ahad. Hadist mutawatir artinya bahwa Hadist tersebut disampaikan oleh para sahabat,tabi`in dan tabit tabi`in dalam jumlah tertentu dalam setiap thabaqat nya(generasi). Setiap thabaqat itu pun periwayat yang membawanya haruslah mempunyai syarat-syarat yang akan memjadikan hadist mutawatir ini bersifat qath`i, tidak zhann, sehingga kebenarannya seratus persen dan tidak dapat diragukan lagi. Adapun bebarapa syarat dari hadist mutawatir itu antara lain sebagai berikut :

1.      Hadisk yang disampaikan harus diterima langsung oleh perawi dengan pendengarnya dan penglihatan langsung pada periwayat sebelumnya.
2.      Jumlah perawi tiap thabaqt nya (sahabat, tabi`in dan tabi`at –tabi`in) mencapai jumlah tertentu dan tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong. Jumlah ini harus imbang tiap thabaqat nya.
3.      Untuk memastikan bahwa perawinya tidak mungkin berbohong baik sengaja maupun tidak, maka haruslah mempunyai sifat adil, sempurna ingatan (hapalan kuat) dan bebarapa syarat yang lain.

Akan halnya hadist ahad, kekuatannya tidak bisa dipastikan seratus persen (qath`i) serta

Masih mengandung zhann, baik sedikit maupun banyak. Jumlah perawinya pun lebih kecil dari hadist mutawatir. Hal ini yang menjadikan hadist ahad bersifat mengandung unsur keragu-raguan(zahann). Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa dalam masalah akidah tidak boleh ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Oleh sebab itu hadist ahad tidak dapat digunakan sebagai dalil naqli khusus untuk masalah akidah, namun tetap dapat digunakan untuk masalah selain akidah tergantung kekuatan hadist ahat tersebut.

0 komentar

Posting Komentar